- Pengertian Ilmu Waris / Faraidh:
Ada beberapa macam pengertian faraidh atau ilmu waris di
sisi ulama namun semuanya merujuk kepada maksud yang sama. Dapat kita simpulkan
bahwa pengertian faraidh atau ilmu waris adalah:
العلم بقمسة المواريث فقها وحسابا
“Ilmu yang berkaitan dengan pembagian harta warisan yang memiliki hubungan dengan fiqh
dan perhitungan.” (Tashiil Al-Faraidh hal.9)
-Keutamaan belajar ilmu waris:
1- Diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu alaihi wa
sallam-:
العلم
ثلاثة، وما سوى ذلك فهو فضل: آية محكمة، أو سنة قائمة، أو فريضة عادلة
“Ilmu ada tiga.
Dan selain itu maka adalah keutamaan lebih. Yaitu, ayat muhkamah, dan sunnah
yang tegak, dan ilmu pembagian waris yang adil.” (HR. Abu Daud No. 2885; dhaif
sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albani)
2- Diriwayatkan pula dari Rasulullah -shallallahu alaihi
wa sallam-:
يا أبا هريرة، تعلموا الفرائض وعلموه،
فإنه نصف العلم، وهو ينسى، وهو أول شيء ينزع من أمتي
“Wahai Abu
Hurairah, belajarlah Faraidh (ilmu waris) sesungguhnya ilmu waris adalah
setengahnya ilmu. Dan dia akan dilupakan. Dan dia juga yang pertama kali
dicabut dari ummatku.” (HR. Ibnu Majah No. 2719; Dhaif sebagaimana yang dinyatakan
oleh Al-Albani)
Hadits-hadits
yang berkaitan hal ini statusnya dhaif, namun memiliki beberapa jalan riwayat
yang memberikan isyarat bahwa keutamaan belajar faraidh memiliki asal usulnya.
- Hukum pembagian harta warisan:
Pembagian harta waris telah dijelaskan oleh Allah dalam
Al-Quran Al-Karim dan Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- dalam
hadits-hadits beliau. Dan pembagian ini hukumnya adalah wajib. Sebagaimana
firman Allah Allah di akhir ayat tentang pembagian harta warisan:
فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما
“Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa: 11)
Al-Imam Ibnu Katsir -rahimahullah- berkata ketika
menafsirkan ayat ini:
هو فرض من الله حكم به وقضاه، والله
عليم حكيم الذي يضع الأشياء في محالها، ويعطي كلا ما يستحقه بحسبه
“Dia adalah kewajiban dari Allah yang mana Allah berhukum
dengannya dan memutuskannya. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha bijaksana yang
telah meletakkan segala sesuatu pada tempatnya dan memberikan setiap orang apa
yang berhak untuknya sesuai dengan takarnya” (Tafsir Ibn Katsir 2/29)
- Tema yang dibahas pada ilmu waris:
Dan tema yang dibahas pada ilmu faraidh atau ilmu waris
adalah harta yang ditinggalkan oleh mayyit (orang yang sudah wafat) sehingga
dapat diberikan kepada orang-orang yang berhak.
- Hak-hak yang berkaitan dengan harta peninggalan
mayyit yang wajib dikeluarkan:
Pertama: Mengeluarkan
harta peninggalan mayyit untuk penguburannya seperti untuk kebutuhan kain
kafan, dsb.
Kedua: Hutang yang belum
dibayar, baik hutang tersebut adalah hak Allah semisal kaffarah dll. Atau hutang
hak manusia berupa hutang uang.
Ketiga: Hutang yang
berkaitan dengan barang peninggalan mayyit berupa gadaian atau yang semisalnya.
Keempat: Wasiat. Dan wasiat
diakhirkan setelah hutang. Karena hutang lebih wajib untuk ditunaikan sedangkan
wasiat hanyalah tabbarru’ (berbuat baik) jika ada keluasan dalam harta. Dan itu
juga sebagaimana yang dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib
-radhiyallahu anhu- beliau berkata:
قضى
رسول الله صلى الله عليه وسلم بالدين قبل الوصية
“Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- memutuskan
bahwa hutang didahulukan sebelum wasiat.” (HR. Ibnu Majah No. 2715; Hasan
sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albani)
Kelima: Pembagian harta
waris. Dan inilah yang akan kita bahas secara mendetail insya Allah.
- Rukun-rukun pembagian harta warisan:
1- Orang yang mewariskan hartanya seperti Mayyit (orang yang
telah wafat) atau orang yang memiliki hukum sama dengan mayyit seperti orang
yang telah lama hilang dan tak pernah ditemukan kembali. Disebut juga dengan
muwarrits.
2- Orang yang memiliki hak dari harta warisan. Seperti orang
yang masih hidup atau yang memiliki hukum sama dengan orang hidup yaitu janin.
Disebut juga dengan waarits.
3- Apa yang ditinggalkan oleh mayyit berupa harta dsb.
Ini disebut juga dengan mawruuts atau tarikah.
- Sebab-sebab terjadinya pembagian harta warisan:
1- Pernikahan. Sepasang suami istri jika telah melangsungkan
akad nikah maka keduanya berhak mengambil jatah harta warisannya jika salah satu
dari mereka telah wafat walau keduanya tidak pernah bersetubuh atau
bersenggama.
Hal tersebut sebagaimana yang telah dijelaskan oleh
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- dalam sebuah kejadian yang dialami
oleh Birwa’ binti Waasyiq.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar -radhiyallahu anhu-:
أن رجلا تزوج امرأة فمات عنها، ولم
يدخل بها ولم يفرض لها الصداق، فقال: لها الصداق كاملا، وعليها العدة، ولها
الميراث
“Bahwasanya seseorang menikahi seorang wanita maka lelaki
tersebut pun wafat. Dan dia belum bersenggama dengan istrinya dan juga belum
menentukan maharnya. Maka Abdullah bin Umar mengatakan: ‘Wanita tersebut
mendapatkan maharnya (seperti wanita lain di tempatnya), dan dia wajib
menjalani masa iddah, dan dia juuga mendapatkan warisan.” (HR. Abu Daud No.
2114; Shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albani)
Ma’qil bin Sinan -radhiyallahu anhu- berkata:
سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم: قضى
به في بروع بنت واشق
“Aku mendengar Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-
memutuskan hal yang serupa pada Birwa’ binti Waasyiq”. (HR. Abu Daud No. 2114;
Shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albani)
2- Nasab atau kekerabatan. Yaitu hubungan di antara
beberapa orang karena mereka memiliki hubungan kelahiran, baik yang dekat
maupun jauh.
Dan nasab memiliki 3 macam:
A. Al-Ushul. Yaitu ayah, kakek, buyut, dan seterusnya
hingga ke atas.
B. Al-Furu’. Yaitu anak, cucu, cicit, dan seterusnya
hingga ke bawah.
C. Al-Hawasyi. Yaitu para saudara dan anak-anak mereka, dan
para paman dan anak-anak mereka.
3- Al-Walaa’. Yaitu hak dari harta warisan karena telah
membebasan budak. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah
-shallallahu alaihi wa sallam-:
إن الولاء لمن أعتق
“Sesungguhnya walaa’ (harta warisan yang ditinggalkan budak)
Dan juga sebagaimana yang telah beliau sabdakan:
الولاء لحمة كلحمة النسب
“Walaa’ memiliki
hubungan seperti hubungan nasab.” (HR. Ibnu Hibban No. 4950; Shahih sebagaimana
yang dinyatakan oleh Ibnu Hibban sendiri)
Sehingga seorang
tuan yang membebaskan budaknya juga bisa mengambil harta yang ditinggal wafat oleh
budaknya. Namun sebaliknya, seorang budak sama sekali tidak dapat mengambil
harta yang ditinggal wafat oleh tuannya walau tuannya tersebut tidak memiliki
satupun ahli waris.
- Penghalang
pembagian harta warisan:
1- Perbudakan.
Seorang budak tidak memiliki hak dari harta warisan. Karena seluruh harta
seorang budak adalah milik majikannya. Seandainya seorang budak berhak
mengambil warisan dari kerabatnya maka tentu harta tersebut secara otomatis
akan berpindah kepada tuannya atau majikannya. Dan ini berarti sama saja
memberikan hak kepada orang asing yang tidak memiliki kekerabatan nasab dan
pernikahan untuk mengambil harta warisan dari orang lain. Dan ini adalah bathil
dengan kesepakatan seluruh ulama.
Maka seorang
budak tidak dapat mengambil warisan dari harta yang ditinggalkan oleh
kerabatnya. Karena harta budak adalah milik majikannya sebagaimana sabda
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-:
من باع عبدا له مال فماله للبائع إلا
أن يشترط المبتاع
“Barangsiapa
yang menjual budaknya dan budak tersebut memiliki harta maka hartanya milik
penjual (majikannya) kecuali jika pembeli memberikan syarat.” (HR. Ahmad No.
5541; Shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib Al-Arnaa’uth)
2- Pembunuhan yang
tidak dibenarkan. Jika ada seorang yang membunuh kerabatnya maka dia tidak
berhak untuk mendapatkan warisan. Hal tersebut karena Rasulullah -shallallahu
alaihi wa sallam- bersabda:
ليس للقاتل من الميراث شيء
“Pembunuh tidak
memiliki hak dalam harta warisan sedikitpun.” (HR. Ad-Daaruquthni No. 4148; Shahih
sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Albani)
Hal tersebut
untuk menjaga agar tidak terjadi pembunuhan secara sengaja karena si pembunuh
ingin segera mendapatkan harta warisan.
Namun bagaimana
jika pembunuhan itu terjadi secara tidak sengaja, semisal seseorang ingin
menembak seekor kambing namun malah mengenai keluarganya? Maka hal tersebut
juga sama bahwa dia juga tidak memiliki hak dari harta warisan orang yang
terbunuh. Hal ini untuk menjaga agar tidak terjadi seorang pembunuh secara
sengaja mengaku-ngaku bahwa dia membunuh tidak sengaja. Ini juga sebagaimana
yang telah diriwayatkan dari Umar bin Khattab -radhiyallahu anhu-, beliau
berkata:
لا يرث القاتل خطأ ولا عمدا
“Orang
yang membunuh secara salah (tidak sengaja) dan maupun yang membunuh secara
sengaja tidak berhak mengambil warisan.” (HR. Ad-Daaruquthni No. 4212; Dha’if
sebagaimana yang dinyatakan oleh Dhiya’
Al-Maqdisi karena Sya’bi tidak pernah mendengar dari Umar)
Dan pembunuhan
yang dibenarkan ketika membunuh di saat qishash, atau menegakkan hukuman hadd.
3- Perbedaan
agama. Orang muslim tidak dapat mewarisi orang kafir dan orang kafir tidak
dapat mewarisi orang musli. Hal tersebut sebagaimana yang disabdakan oleh
Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam-:
لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر
المسلم
“Orang
muslim tidak dapat warisan orang kafir dan orang kafir tidak dapat warisan
muslim.” (HR. Bukhari No. 6764 dan Muslim No. 1614)
Penulis: Ustadz
Abdurrahman Al-Amiry
Artikel:
alamiry.net (Kajian Al-Amiry)
----------
Ingin pahala
jariyah? Mari berinfak untuk pengembangan dakwah Kajian Al-Amiry melalui
rekening:
BNI Syariah: 0605588960 a.n Yayasan Kajian Al Amiry (Kode bank: 009)
Anda
diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel
yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Posting Komentar