Pada
kesempatan ini saya ingin memaparkan kesalahan yang banyak terjadi pada
diri-diri kaum muslimin di bulan ramadhan. Karena mulianya bulan yang satu ini,
ada baiknya jika saya memaparkan kesalahan yang banyak terjadi agar kita semua
terhindar dari kesalahan-kesalahan yang mana mayoritas kaum muslimin banyak
terjatuh kedalam perihal-perihal tersebut.
1-
Melaksanakan puasa namun tidak menegakkan shalat 5 waktu alias meninggalkannya.
Perlu kita
ketahui bahwasanya menegakkan shalat lima waktu adalah rukun islam ke 2 setelah
syahadat. Dan barang siapa yang sengaja meninggalkan salah satu rukun islam
maka hancurlah keislamannya. Begitupula barang siapa yang meninggalkan shalat
dengan sengaja sedangkan dia mengetahui kewajiban menegakkan shalat maka hancurlah
keislamannya dan dia dihukumi dengan kafir. Simaklah hadits Ibnu Umar.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Dari Ibnu
Umar Radhiyallahu 'anhuma, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Islam dibangun di atas lima (tonggak): Syahadat Laa ilaaha
illa Allah dan (syahadat) Muhammad Rasulullah, menegakkan shalat, membayar
zakat, hajji, dan puasa Ramadhan”[1]
Disini
menunjukkan bahwasanya shalat adalah rukun islam jika ditingalkan dengan
sengaja maka hancurlah keislamannya. Kemudian simaklah hadits rasulullah
lainnya. Rasulullah bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Pembatas
antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan
shalat.”[2]
Dan rasulullah
–shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى
بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya
maka dia telah kafir.”[3]
Dan tatkala
Allah menceritakan tentang orang-orang kafir di awal-awal surat at-taubah,
Allah berfirman pada ayat 11:
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka
bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui.”[4]
Saya sangat
menyeru kepada kaum muslimin untuk menjaga shalat lima waktu, jangan sampai
meninggalkan satu shalat wajib dengan sengaja karena mengikuti hawa nafsu,
sehingga Allah menggolongkan kita bersama orang-orang yang lalai.
2-
Mengkhususkan ziarah kuburan terutama kuburan para wali.
Ziarah kubur
dianjurkan oleh nabi shallahu alaihi wasallam kapanpun dengan tujuan untuk
mengingatkan kepada kematian. Tidak ada kekhususan pada bulan ramadhan untuk
menziarahi kuburan.
Rasulullah
bersabda:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
"Dulu aku pernah melarang kalian untuk
berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah kubur.
Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan
kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang tidak layak
(qaulul hujr), ketika berziarah”[5]
Dan yang
sangat disayangkan banyak dari masyarakat kita mendatangi kuburan dengan tujuan
untuk berdoa kepada mayyit. Maka ini menyelisihi tujuan dari ziarah kubur. Sehingga
tujuan dari menziarahi kubur bukanlah untuk meminta dan berdoa kepada
orang-orang yang telah wafat. Karena orang yang telah wafat tidak akan
mendengarkan doa yang kita panjatkan. Allah berfirman:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاءُ وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَنْ يَشَاءُ وَمَا أَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِي الْقُبُورِ
"Dan tidak (pula) sama orang-orang yang
hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran
kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan
orang yang di dalam kubur dapat mendengar”[6]
Dan Allah
berfirman:
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبير
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau pun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui”[7]
وَالَّذِينَ تَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مَا يَمْلِكُونَ مِنْ قِطْمِيرٍ إِنْ تَدْعُوهُمْ لَا يَسْمَعُوا دُعَاءَكُمْ وَلَوْ سَمِعُوا مَا اسْتَجَابُوا لَكُمْ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكْفُرُونَ بِشِرْكِكُمْ وَلَا يُنَبِّئُكَ مِثْلُ خَبير
“Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari. Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu; dan kalau pun mereka mendengar, mereka tidak dapat memperkenankan permintaanmu. Dan di hari kiamat mereka akan mengingkari kemusyrikanmu dan tidak ada yang dapat memberikan keterangan kepadamu seperti yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui”[7]
Maka ini
adalah kekeliruan yang terjadi pada masyarakat kita, sedangkan tidak ada
dasarnya dari Al quran maupun hadits Rasulullah –shallallahu alaihi wa sallam-
3-
Menetapkan bulan ramadhan dengan hisab.
Bulan puasa
ditetapkan dengan melihat hilal dan bukan dengan hisab.
Dalil yang
menyatakan bulan ramadhan ditetapkan dengan melihat hilal adalah sabda
Rasululullah shallallahu alahi wa sallam:
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ
فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
"Jika kalian melihat hilal, maka
berpuasalah. Dan jika melihatnya kembali, maka berbukalah (berhari Raya ‘Id).
Lalu, jika kalian terhalangi (tidak dapat melihatnya), maka ukurlah"[8]
Dan maksud
dari sabda rasul dan ukurlah adalah dengan menggenapkan bulan sya’ban menjadi
30 hari.
Dan ini telah
dijelaskan oleh rasulullah shollahu alaihi wa sallam:
صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ
وَ أَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوْا شَعْبَانَ ثَلاَثِيْنَ
"Berpuasalah
kalian karena melihatnya, dan berbukalah kalian (untuk Idul Fithri) karena
melihatnya. Jika (hilal) tertutup oleh mendung, maka sempurnakanlah Sya’ban 30
hari"[9]
Dengan dalil
ini maka cara yang tepat dalam menetapkan bulan ramadhan dengan melihat hilal
dan bukanlah dengan hisab . Dan Rasulullah bersabda yang menyatakan bahwasanya
bulan ramadhan tidak ditetapkan dengan hisab sebagaimana yang terjadi pada
masyarakat muslim, bahkan ramadhan hanya ditetapkan dengan melihat hilal:
إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ
لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا ثَلَاثًا حَتَّى
ذَكَرَ تِسْعًا وَعِشْرِينَ
"Kami adalah umat yang ummi, tidak
menulis dan tidak menghisab, bulan itu demikian, demikian dan demikian tiga
kali”[10]
4-
Melafadzkan niat “Nawaitu shouma ghodin”
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah melafadzkan niat, karena tempatnya
niat hanyalah dihati. Jikalau melafadzkan niat disyariatkan tentulah nabi
shallallahu alaihi wa sallam telah melafadzkannya. Maka dari itu salah satu
ulama madzhab syafi’i yaitu Al Imam An Nawawi berkata:
لا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
لا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah
puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak
disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di
antara para ulama.”[11]
5-
Menjadikan Imsak Sebagai Batasan Sahur (antara 10 – 15 menit)
Dan untuk
masalah imsak dalam bersahur itu tidak ada ketetapannya dari rasululllah.
Bahkan jarak waktu sahur rasulullah antara waktu sahur beliau sampai fajr kedua
(shubuh) hanya sepanang 50 ayat. Anas
bin malik bertanya kepada zaid bin tsabit, berapa lama jarak waktu sahur nabi
hingga waktu shubuh. Maka Zaid bin tsabit bin tsabit berkata:
قدر خمسين أية
“sepanjang 50 ayat”[12]
Lihatlah
permulaan waktu sahur nabi hingga adzan shubuh hanya selama 50 ayat sekitar 10
-15 ayat. Lantas, tidak ada yang namanya imsak, karena Rasul tidak berimsak.
Dan jika kita
melaksanakan sahur kemudian adzan telah berkumandang sedangkan kita belum
menghabiskan sahur kita, lantas bagaimana sikap kita? Rasulullah bersabda:
إذا سمع أحدكم النداء
و الإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه
“Jika
salah satu kalian mendengar Adzan akan tetapi bejana makanan masih berada
ditangannya, maka janganlah ia meninggalkan
bejana itu sampai ia menyelsaikan kebutuhannya (menghabiskan
makanannya)”[13]
6- Berdoa
tatkala berbuka puasa dengan “Allahumma laka shumtu”
Riwayat doa
Allahumma laka shumtu Wa ‘alaa rizqika afthortu adalah dho’if. Mari kita lihat
matan haditsnya:
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[14]
عَنْ مُعَاذِ بْنِ زُهْرَةَ، أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ قَالَ: اَللَّهُمَّ لَكَ صُمْتُ، وَ عَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ
“Dari Mu’adz bin Zuhrah, sesungguhnya telah sampai riwayat kepadanya bahwa sesungguhnya jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa, beliau membaca (doa), ‘Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthortu-ed’ (ya Allah, untuk-Mu aku berpuasa dan dengan rezeki-Mu aku berbuka).”[14]
Hadits ini dho’if
dkarenakan Mu’adz bin zuhrah adalah seorang tabi’in, sehingga sanadnya terputus
karena tidak ada thobaqah (tingkat) sahabat yang meriwayatkannya dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan hadits-hadits mursal termasuk hadits-hadits
dho’if.
Kemudian
terdapat hadits yang diriwayatkan dari Anas Bin Malik, namun dalam sanad hadits
tersebut terdapat Daud bin Az Zibriqon, dan rawi ini dinilai dho’if oleh para
ulama. Walhasil haditsnya pun dhaif.
Adapun
tambahan “Wa bika Amantu”, ulama ahli hadits tidak pernah menyebutkan
riwayatnya.
Lafadz yang
benar tatkala berbuka puasa adalah:
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
ذَهَبَ الظَّمَأُ، وابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ
“Dzahabazh
zhoma’u wabtallatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah
Telah
hilanglah dahaga, telah basahlah kerongkongan, semoga ada pahala yang
ditetapkan, jika Allah menghendaki”[15]
Perowi hadits
ini dari sahabat adalah Abdullah Bin Umar.
7- Membayar
zakat dengan uang pada waktu yang bukan darurat untuk membayar dengannnya.
Pada asalnya
membayar zakat fitrah dengan makanan pokok daerah. Akan tetapi jika terpaksa
dan ada mashlahat yang lebih besar maka boleh baginya untuk membayar zakat
fitri dengan uang.
Kita lihat
dalil yang menunjukkan bahwasanya zakat fitri dibayar dengan makanan pokok
suatu daerah:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّكَنِ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَهْضَمٍ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ نَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالْأُنْثَى وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنْ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin
Ja’far, dari ‘Umar bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa, ia berkata : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu shaa’ tamr
(kurma) atau satu shaa’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan
wanita dari kalangan umat muslimin. Dan beliau pun memerintahkan agar
mengeluarkannya sebelum orang-orang keluar mengerjakan shalat (‘Ied)”[16]
Kemudian kita lihat hadits lainnya:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعْدِ بْنِ أَبِي سَرْحٍ الْعَامِرِيِّ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami
Maalik, dari Zaid bin Aslam, dari ‘Iyadl bin ‘Abdllah bin Sa’d bin Abi Sarh
Al-‘Aamiriy, bahwasannya ia mendengar Abu Sa’iid Al-Khudriy radliyallaahu ‘anhu
berkata : “Dulu kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu shaa’ makanan,
atau satu shaa’ gandum, atau satu shaa’ tamr (kurma), atau satu shaa’ keju,
atau satu shaa’ anggur kering (kismis)”[17]
Akan tetapi
jika ada kebutuhan masyarakat kepada uang dan ini terdesak maka ini boleh
membayarnya dengan uang. Sebagaimana dalam hadist:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ حَدَّثَنِي ثُمَامَةُ أَنَّ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ لَهُ فَرِيضَةَ الصَّدَقَةِ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ مِنْ الْإِبِلِ صَدَقَةُ الْجَذَعَةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ جَذَعَةٌ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيَجْعَلُ مَعَهَا شَاتَيْنِ إِنْ اسْتَيْسَرَتَا لَهُ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ الْحِقَّةُ وَعِنْدَهُ الْجَذَعَةُ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْجَذَعَةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ عِنْدَهُ صَدَقَةُ الْحِقَّةِ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ إِلَّا بِنْتُ لَبُونٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ لَبُونٍ وَيُعْطِي شَاتَيْنِ أَوْ عِشْرِينَ دِرْهَمًا وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَعِنْدَهُ حِقَّةٌ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ الْحِقَّةُ وَيُعْطِيهِ الْمُصَدِّقُ عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ وَمَنْ بَلَغَتْ صَدَقَتُهُ بِنْتَ لَبُونٍ وَلَيْسَتْ عِنْدَهُ وَعِنْدَهُ بِنْتُ مَخَاضٍ فَإِنَّهَا تُقْبَلُ مِنْهُ بِنْتُ مَخَاضٍ وَيُعْطِي مَعَهَا عِشْرِينَ دِرْهَمًا أَوْ شَاتَيْنِ
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
Tsumaamah : Bahwasannya Anas radliyallaahu ‘anhu telah menceritakan kepadanya :
Bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat kepadanya (tentang
aturan zakat) sebagaimana apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya
shallallaahu 'alaihi wa sallam, yaitu : "Barangsiapa yang memiliki onta
dan terkena kewajiban zakat jadza'ah sedangkan dia tidak memiliki jadza'ah dan
yang dia miliki hanya hiqqah; maka dibolehkan dia mengeluarkan hiqqah sebagai
zakat, namun dia harus menyerahkan pula bersamanya dua ekor kambing atau dua
puluh dirham. Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat
hiqqah sedangkan dia tidak memiliki hiqqah namun dia memiliki jadza'ah; maka
diterima zakat darinya berupa jadza'ah dan dia menerima (diberi) dua puluh
dirham atau dua ekor kambing. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya kewajiban
zakat hiqqah namun dia tidak memilikinya kecuali bintu labun; maka diterima
zakat darinya berupa bintu labun, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua
ekor kambing atau dua puluh dirham. Dan barangsiapa telah sampai kepadanya
kewajiban zakat bintu labun dan dia hanya memiliki hiqqah; maka diterima zakat
darinya berupa hiqqah dan dia menerima dua puluh dirham atau dua ekor kambing.
Dan barangsiapa yang telah sampai kepadanya kewajiban zakat bintu labun
sedangkan dia tidak memilikinya kecuali bintu makhadl; maka diterima zakat
darinya berupa bintu makhadl, namun dia wajib menyerahkan bersamanya dua puluh
dirham atau dua ekor kambing"[18]
Hadits di atas
menunjukkan diperbolehkannya membayar zakat yang diwajibkan dengan sesuatu yang
senilai dengannya.
Kemudian Abu Ishaq
berkata:
أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام.
“Aku menjumpai mereka menunaikan shadaqah Ramadlaan (zakat fihtri) beberapa dirham senilai makanan”[19]
أدركتهم وهم يعطون في صدقة رمضان الدراهم بقيمة الطعام.
“Aku menjumpai mereka menunaikan shadaqah Ramadlaan (zakat fihtri) beberapa dirham senilai makanan”[19]
Maksud dari
perkataan nya: “menjumpai mereka” adalah menjumpai para tabi’in dan para
sahabat. Karena Abu Ishaq adalah seorang tabi’in yang menjumpai sebagian para
sahabat.
Sehingga kita
tidak bisa mengatakan serta merta bahwasanya membayar zakat fitrah dengan uang
adalah amalan bid’ah. Karena sebagian para sahabtpun melakukannya.
Mungkin yang sedikit ini akan dapat bermanfaat bagi kita semua. Shallallahu alaa nabiyyinaa muhammad.
Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
Artikel: alamiry.net (Kajian Al Amiry)
Anda diperkenankan untuk menyebarkan, re-publikasi, copy-paste atau mencetak artikel yang ada di alamiry.net dengan menyertakan alamiry.net sebagai sumber artikel.
Ikuti status kami dengan menekan tombol like pada halaman FB Muhammad Abdurrahman Al Amiry , dan tombol follow pada akun Twitter @abdr_alamiry
[1] HR Bukhari
[2] HR Muslim
[3] Hadits Shohih Riwayat Ahmad, Tirmidzi,
Nasa’i
[4] QS At Taubah: 11
[5] Hadits Shohih Riwayat Hakim
[6] QS Fathir :22
[7] QS Fathir: 13-14
[8] HR Bukhari Muslim
[9] HR Bukhari
[10] HR Bukhari Muslim
[11] Rowdhotuth
Tholibin, I/268
[12] HR Bukhari Muslim
[13] HR Bukhari
[14] Hadits Lemah Riwayat Abu Dawud
[15] Hadits Shohih Riwayat Abu Dawud
[16] HR Bukhari
[17] HR Bukhari
[18] HR Bukhari
[19] HR Ibnu Abi Syaibah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar